Sabtu, 07 April 2012

Sejenak Memahami Akar Fundamentalisme Agama

 Fundamentalisme agama sesungguhnya bukanlah diskursus baru sama sekali dalam jagad pewacanaan kita. Ia adalah langgam lawas yang seringkali dibeber, diudar, diulas dan diperdebatkan dengan kerangka dan perspektif yang berbeda-beda. Kemunculannya pun masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah benih yang memang ada di setiap agama, ada pula yang bilang merupakan reaksi atas modernitas-sekularisasi yang mengagungkan subyek dan hanya menyisakan kehampaan spiritual. Yang pertama lebih bercorak doktrin religius dan teologis, sementara yang kedua lebih bersifat politis.
Dalam konteks Indonesia, fundamentalisme telah begitu melekat dan identik dengan Islam. Term ‘fundamentalisme’ pun tampak begitu akrab dan selalu dipersandingkan dengan term ‘Islam’. Pada gilirannya, pertelingkahan dua termatikal ini akhirnya melahirkan term-term baru seperti radikal, ortodoks, literal, formalis, ekstrimis, dan garis keras. Seabrek term itu kemudian beranjak dari makna primordial kebahasaannya dan berubah secara enerjik menjadi stigmatisasi dan atribusi yang ditempelkan bagi kaum fundamentalis, khususnya Islam. Kehadiran stigmatisasi itu lebih dilatari oleh praktek keberagamaan yang diperagakan mereka dengan cara kekerasan dalam menerjemahkan pesan ke-Tuhan-an. Jadinya, Islam dihadirkan dan ditampilkan dengan wajah yang bringas dan begitu menakutkan.
Namun sebelum jauh mempersoalkan fundamentalisme, lebih baiknya kita melakukan pelacakan secara geneologis terhadap akar kata dan pengertian fundamentalisme sembari berusaha merunut ihwal kelahiran gerakan ini.
Makna Fundamentalisme dan Awal Kelahirannya
Memang tidak gampang mendefinisikan istilah fundamentalisme untuk masa kekinian. Sebab, term fundamentalisme dipakai oleh banyak kalangan untuk menunjuk sesuatu dalam arti, maksud, dan tujuan yang berbeda-beda, bahkan terkadang bertentangan. Tak ayal, interpretasi yang tumpah pun beragam.
Tidak adanya makna dan maksud tunggal itu, boleh dikata, disebabkan keberbedaan perspektif peneliti dalam mendekati gejala fundamentalisme. Ada yang lebih menekakan pada aspek sosial semata, ada juga yang lebih memfokuskan pada aspek politik, dan sebagian lainnya lebih condong pada aspek doktrin religiusnya. Namun secara umum, gerakan fundamentalisme dihubungkan dengan dua sikap yang sangat menyolok, yakni sikap ekstremitas dan sikap puritan yang berorientasi pada pemurnian agama.
Meski beragam definisi, tapi paling tidak kita bisa mengenali akar kata fundamentalisme yang paling sederhana. Fudamentalisme berasal dari kata “fundamen”, yang artinya “dasar”. Jadi, fundamentalisme ketika disematkan pada agama adalah kembali pada fundamentals (dasar) agama secara penuh dan literal.
Demikian ini arti dasar dari istilah fundamentalisme. Lalu bagaimana dengan sejarah kelahiran gerakan fundamentalisme?
Dalam lacakan historis, penelitian A. Merriam-Webster (1980) memperlihatkan bahwa fundamentalisme agama sebenarnya telah terjadi di kalangan Protestan Amerika Serikat di awal abad 20. Di sini, fundamentalisme dimengerti sebagai sikap penganut agama yang hanya menekankan aspek ketaatan secara harfiah atas sejumlah prinsip keagamaan yang dianggap mendasar.
Istilah fundamentalisme, seperti paparan Trisno S. Sutanto yang mengikuti James Barr, muncul pertama kali pada sebulah booklet yang dipublikasikan di Amerika, “The Fundamentals Testimoni of Truth” antara tahun 1910-1915. Kelompok yang dipakai menerbitkan ini rata-rata adalah para tokoh Kristen, terutama dari kalangan Evangelical dan Protestan konservatif yang berkumpul di sekolah teologi yang dinamakan “Princetown Teological Seminary” di Amerika. Dan istilah fundamentalis pertama kali itu dipakai menurut catatan sejarah sekitar tahun 1920 oleh seorang Kristen baptis bernama Sisilaw. Dia menyebut kelompok yang mendukung program fundamentalisme ini sebagai orang-orang fundamentalis.
Fundamentalisme Dalam Tubuh Kristen
Lacakan geneologis kelahiran istilah dan gerakan fundamentalisme di atas sekaligus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kesejarahan Kristen di Amerika yang pertama kali mengenalkan dan memakai term tersebut. Dari sini bisa dilihat bahwa fundamentalisme sejatinya adalah gerakan keagamaan dengan spirit purifikasi untuk memposisikan teks suci secara sakral, tak tersentuh, dan tak boleh disangsikan kebenarannya. Karenanya, teks suci itu menjadi tertutup dan dipertahankan dengan strategi defensif.
Dalam catatan yang lain, seperti yang dituliskan oleh Agung Primamorista, gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.
Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.
Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka.
Untuk mengenali lebih jelas lagi, Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat membuat beberapa ciri terhadap fundamentalisme Kristen dewasa ini. Pertama, “Mempertuhankan Alkitab”. Kedua, “Literalisme Biblis”. Ketiga, “Bermental triumfalistik ekspansionistik”. Keempat, “Berkolaborasi dengan kapitalisme Barat dunia”. Fundamentalisme injili Kristen di Indonesia berafiliasi dengan kapitalisme global yang berpusat di EU dan USA, yang menjadi penyuntik dana besar gerakan-gerakan Kristen Barat yang mempunyai misi ekspansi sivilisasi Barat, antara lain ke Indonesia. Kelima, “Penyusupan ke gereja-gereja arus utama”. Keenam, “Narcissisme radikal”. Ketujuh, “Berfisi apokaliptik sangat politik radikal”. Kedelapan, “Sangat anti terhadap pendekatan kritis historis terhadap Kitab Suci”.Kesembilan, “Gerakan kebudayaan yang sangat berbahaya”. Sebab mereka bukan hanya suatu gerakan religius kultural –yang ingin mengembalikan dunia dan gereja-gereja ke dalam kehidupan dunia zaman kuno, zaman kejayaan para nabi, dan zaman para rasul Kristen di abad-abad perdana dalam sejarah gereja, zaman keemasan bagi karya nyata Roh Kudus– tapi sebuah gerakan yang sangat modern karena menggunakan cara-cara dan strategi yang modern untuk keperluan pengkristenan dalam program sedunia “evangelism explosion” mereka.
Fundamentalisme Dalam Tubuh Islam
Sejatinya, dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menjumpai dan menemukan –baik dalam kamus bahasa maupun kamus istilah– disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Kita hanya menemukan kata dasar dari terminologi itu yaitu al-ashlu dengan makna ‘dasar sesuatu’ dan ‘kehormatan’. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna ‘akar’ (QS Ibrahim : 24).
Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer, sebagimana paparan Agung Primamorista, sebagian ulama menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu fikih dengan makna “kaidah-kaidah pokok-pokok syari’at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri’iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok tasyri’iyah general seperti : (1) tujuan umum syari’at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta’arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum).” Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen.
Islam memang tak mempunyai kosa kata fundamentalisme. Tapi secara ide besarnya, fundamentalisme Islam bisa dilacak. Jika menengok perjalanan sejarah Islam, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru, juga bukanlah bayi yang baru lahir abad 18 atau 19 sebagi reaksi dan counter atas modernitas yang menancapkan jangkar sekularisasi. Tapi ia sudah terlahir jauh hari dari pergolakan situasi dan kondisi sosial-politik peradaban Islam saat itu yang tengah bergejolak setelah Nabi Muhammad wafat.
Kala itu, umat Islam terpecah setidaknya dalam tiga kelompok untuk menentukan siapa pengganti Nabi. Perpecahan itu kian nyata ketika Khalifah Utsman memerintah dan akhirnya terbunuh oleh sebuah gerakan pemberontak yang menganggap Utsman nepotis. Khalifah Utsman pun kemudian digantikan Sayyidina Ali. Pada masa Ali inilah terjadi perang Siffin yang sangat terkenal dengan arbitrasenya. Dari sana pula ummat Islam semakin tercerai-berai dalam tiga kelompok besar. Salah satu kelompok yang sangat radikal adalah Khawarij. Kelompok ini banyak disebut sebagai cikal bakal fundamentalisme Islam. Bahkan, kelahiran Khawarij sendiri disebut sebagai fitnatul qubro (fitnah besar).
Khawarij, kala itu, tampil menjadi sebuah gerakan yang begitu angker dan menakutkan. Cara berfikirnya dalam menerjemahkan pesan ke-Tuhan-an terlihat begitu kaku, tertutup, dan hitam-putih. Sikap-lakunya dalam menegakkan Islam pun begitu garang dan sulit menerima perbedaan. Segala sesuatu yang berbeda dari diri mereka dianggap salah. Klaim, labelisasi, stigmatisasi pun kerap dilotarkan untuk kelompok yang tidak sejalan dengan mereka.
Lihat saja bagimana gampangnya mereka mencap kafir pada kelompok Muawiyah (pendukung Utsman) dan juga kelompok Ali. Kedua kelompok dianggap keluar dari ajaran Islam dan harus dimusuhi. Bahkan, ekstrimitas itu tidak hanya terjadi pada level epistemologi dan pemikiran tapi sampai pada level praksis dan fisik. Mereka tak segan-segan membunuh siapa saja yang dinilai kafir. Ali termasuk salah satu korban pembunuhan yang mereka lakukan.
Muski orang Islam keberatan dengan istilah itu, namun ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada “fundamentals” (dasar-dasar) agama secara “penuh” dan “literal”, bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.
Fundamentalisme Bukan Sebuah Reaksi atas Modernitas-Sekulerisasi
Oleh beberapa kalangan, utamanya Barat, fenomena gerakan fundamentalisme yang kian menggejala belakangan ini dituding sebagai reaksi atas modernitas yang melahirkan sekularisasi. Pada konteks ini, fundamentalisme didefinisikan dan dicitrakan sebagai sebuah gerakan pembebasan ketertindasan dari pihak Barat yang hegemonik dan dominatif.
Armstrong menengarai bahwa sikap terlampau fanatik dalam beragama (over fanatism in religious faith) sebagai penyebab utama adanya gejala destruktif ini. Paradigma sempit serupa inilah yang kemudian berandil menentang setiap upaya sekularisasi dan modernisasi yang terjadi di tubuh agama. Lahirlah absolutisme pemikiran –dengan “perisai” purifikasi ajaran agama– yang memaksakan penafsiran literal terhadap pelbagai problema keummatan. Segala ihwal mesti dirujuk secara skriptual kepada sumber (hukum) tekstual yang serbabaku.
Namun kita tentu tidak serta-merta menerima pandangan tersebut. Butuh kajian lebih kritis dan fair lagi sebagimana yang pernah dilontarkan oleh Azyumardi dalam kritiknya mengenai persoalan ini. Jika banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain, maka hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.
Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar “High Islam” –sebagai kontras “Folk Islam”– yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Jadi ini bukan sebuah reaksi atas modernitas.
Penegasan terhadap persoalan ini menjadi penting agar tidak terombang-ambing dalam silang-sengkarut perspektif mengenai kelahiran fundamentalisme. Sebab, tudingan pengamat Barat yang tidak bertanggungjawab itu akan memosisikan Islam secara vis-a-vis dengan Barat. Ini tentu hanya menambah kekeruhan pandangan yang berujung pada permusuhan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar